Menolak Sekolah

Masyarakat Baduy Dalam sangat taat pada adat istiadat leluhurnya. Mereka tidak boleh memafaatkan teknologi dan hidup sesuai dengan adat leluhurnya.  Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Sunda dengan dialek khas suku Baduy. Sebagian warga Baduy  bisa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Masyarakat dan generasi muda Baduy Dalam tidak mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan melalui jalur pendidikan formal atau  sekolah. Orang Kanekes atau Baduy Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka.

Semenjak kepemimpinan Presiden Soeharto, pemerintah telah berusaha untuk  mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka. Namun warga Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut.

Sebagai ilustrasi, SDN II Bojongmenteng  merupakan salah satu sekolah yang berbatasan langsung dengan perkampungan Baduy luar. Seperti dituturkan  Bapak Usep Suhendar (Kepala SDN II Bojong Menteng),  kendati secara geografis sekolah itu tak jauh dan berbatasan langsung dengan pemukiman Baduy luar dan Baduy Dalam, tak seorangpun anak anak Baduy  yang sekolah. Anak Baduy Dalam tak boleh bersekolah. “Tabu bagi anak anak Baduy Dalam dan Baduy Luar untuk bersekolah”. Kalau toh anak anak itu datang ke sekolah, mereka hanya nonton, main main di pelataran sekolah.

Masyarakat Baduy sendiri lebih senang disebut  urang Kanekes- orang Kanekes atau urang Cibeo- orang Cibeo.  Hal ini sesuai dengan nama kampungnya yaitu kampung Kanekes dan Cibeo yang  terletak di kaki Pegunungan Kendeng, desa Kanekes Kabupaten Lebak. Masyarakat etnis Baduy sebenarnya bukan etnis terasing, yang menutup diri dari dunia luar.

Salah seorang Sosiolog, Garna (1993) meyakini bahwa etnis Baduy bukan masyarakat terasing atau isolated tribe. Sejak Kesultanan Banten beberapa abad lalu, wilayah Kanekes menjadi wilayah kekuasaannya. Masyarakat Baduy secara rutin melaksanakan seba sebagai bentuk pengakuan dan kehormatan kepada penguasa/pemerintahan sampai sekarang. Upacara Seba adalah upacara pengantaran hasil bumi  kepada pemerintah kabupaten atau propinsi yang dilakukan setahun sekali.

Masyarakat Baduy secara rutin melaksanakan seba sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan kepada pemerintahan sampai sekarang. Upacara Seba adalah upacara pengantaran hasil bumi  kepada pemerintah kabupaten atau propinsi yang dilakukan setahun sekali.

Itulah ekspresi ketaatan warga Baduy kepada negara dan pemimpinnya. Mereka sangat hormat dengan kepada negara. Mereka tak sebatas mengikuti gelar  Agustusan setiap peringatan HUT Kemerdekaan. Mereka berkhidmat pada negara dengan caranya sendiri. Hormat kepada pemimpinnya. Mereka berbondong berbaris rapih berjalan kaki melakukan Seba. Upacara seba ini menjadi tradisi turun temurun. Upacara khas setiap tahun, yaitu pengantaran hasil bumi kepada Pemerintah Kabupaten dan Provinsi. 

Itulah warga Baduy.  Mereka sangat hormat dan berkhidmat pada negara dan pemimpinnya dengan caranya sendiri!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *